Ada satu momen kecil yang nyangkut di kepala saya beberapa hari lalu. Saya lagi scroll santai, lalu ketemu video Soleh Solihun—yang dengan gaya khasnya—ngomong sesuatu yang… jujur aja nyelekit, tapi lucu juga. Kira-kira begini intinya: “Semua orang itu tidak bisa sukses. Kalau kita ternyata bagian dari yang tidak bisa sukses… ya terima aja.”
Saya berhenti. Kayak ada tangan tak terlihat yang mencolek bahu sambil bilang, “Nih, buat kamu.”
Aneh ya, kadang kalimat sederhana bisa lebih nancep daripada ratusan buku motivasi.
Dan sejujurnya… saya sempat mikir: “Loh, kalau beneran saya termasuk kategori yang tidak bisa sukses, saya harus ngapain?”
Lucunya, pertanyaan itu justru bikin saya penasaran, bukan sedih.
Ketakutan Lama yang Jarang Kita Akui
Kenapa sih kita jadi merinding kalau dengar kalimat “tidak bisa sukses”?
Saya rasa karena sebagian besar hidup kita dibangun di atas ide bahwa “sukses itu wajib, semuanya bisa sukses kalau mau berusaha.” Dari kecil kita dijejali gambaran bahwa hasil adalah bukti nilai diri. Dan ketika ada seseorang bilang, “Mungkin kamu nggak akan sukses”—otak kita langsung panik.
Padahal kalau dipikir-pikir… kita semua sebenarnya sudah pernah mencicipi “ketidak-suksesan”, cuma skalanya aja yang beda.
Ada yang gagal masuk kerja impian.
Ada yang bisnis kecilnya tutup sebelum ulang tahun pertama.
Ada yang cita-citanya buyar setelah melihat realita biaya hidup.
Saya juga pernah, berkali-kali malah. Dan jujur aja, ada fase di hidup saya yang rasanya kayak jalan panjang yang selalu buntu. Kamu pasti pernah juga, ya kan? Wajar kok.
Tapi kalimat Soleh itu—yang nadanya santai banget—membalikkan sesuatu dalam kepala saya: bagaimana kalau ketidak-suksesan bukan sesuatu yang harus ditakuti mati-matian?
Kenapa Pikiran “Tidak Bisa Sukses” Begitu Menghantui?
Kadang saya ngeliat fenomena ini muncul di sekitar: semakin orang takut gagal, semakin ia memaksa diri untuk jadi “sukses versi umum”.
Dan anehnya… semakin dipaksa, semakin hidup terasa sempit. Kita jadi seperti sedang menjalankan skenario yang ditentukan orang lain: kerja bagus, gaji naik, rumah, keluarga, penghargaan, gelar, stabilitas, segala kotak checklist itu.
Tapi apa jadinya kalau tak satu pun kotak itu berhasil kita centang?
Normalkah kalau kita takut tidak jadi siapa-siapa?
Normalkah kalau mimpi tidak terwujud?
Normalkah kalau kita tidak bisa sukses dalam definisi umum?
Saya rasa… iya. Normal banget.
Manusia tidak dirancang untuk menang di semua babak. Ada bakat yang memang tumbuh, ada yang mandek. Ada yang rezekinya nongol di usia 20, ada yang baru kelihatan ketika umur 48. Ada yang nggak muncul sama sekali, tapi anehnya hidup tetap berjalan.
Saya pernah ketemu seorang tukang fotokopi di dekat terminal. Orangnya santai, suka ngobrol, nggak pernah terlihat buru-buru mengejar sesuatu. Suatu kali saya tanya, “Pak, nggak pengen buka cabang?” Dia ketawa, lalu jawab, “Lha saya aja sudah pusing ngurus mesin satu ini.”
Banyak orang mungkin bilang beliau “tidak sukses”. Tapi dari dekat, hidupnya tidak terlihat sedih atau kurang apa-apa. Ada wajah tentram yang jarang saya lihat di orang kantoran level manajer.
Dan dari situ saya sadar sesuatu: ketakutan terhadap “tidak bisa sukses” sering lebih ke bayangan sosial, bukan realita nyata.
Apakah Benar Ada Orang yang Tidak Bisa Sukses?
Kalimat ini bikin saya merenung lama. Karena jujur aja… iya, ada. Dalam arti tertentu, ada orang yang tidak bisa mencapai apa yang ia inginkan, meskipun sudah mencoba.
Tapi di saat yang sama, saya curiga kita sering salah mendefinisikan sukses. Kita mengira sukses itu satu bentuk saja: besar, gemerlap, terlihat.
Padahal sukses itu punya “dialek” yang berbeda pada setiap orang.
Sukses bagi sebagian orang adalah independent secara finansial.
Bagi yang lain: hidup sederhana tanpa hutang pun sudah merupakan kemenangan besar.
Ada yang mengejar panggung.
Ada yang mengejar ketenangan.
Ada yang mengejar kebermaknaan.
Ada yang cuma pengen bangun pagi tanpa cemas.
Ketika Soleh bilang “tidak semua orang bisa sukses”, saya rasa ia sedang bicara tentang satu jenis sukses: yang versi mainstream. Yang sering diviralkan. Yang dipakai sebagai standar kompetisi diam-diam.
Tapi apakah orang yang tidak mencapai versi itu otomatis gagal?
Saya tidak yakin.
Mungkin mereka hanya tidak cocok dengan definisi tersebut. Atau tidak perlu. Atau tidak tertarik. Atau… mereka sukses pada bidang yang tidak masuk algoritma popularitas.
Menerima Kemungkinan “Tidak Bisa Sukses” Tanpa Merasa Kalah
Saya sempat mikir, gimana kalau benar-benar suatu hari saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah menjadi sebanyak yang saya bayangkan? Gimana kalau saya ternyata bagian dari statistik itu?
Aneh ya… ternyata ada rasa lega kecil muncul ketika saya coba menerimanya.
Karena ketika kita berhenti menganggap sukses itu syarat wajib, kita membuka ruang untuk hidup apa adanya. Dan lucunya, dari situ justru banyak hal berubah.
Kadang ketika kita tidak lagi bernafsu jadi “yang terbaik”, kita bisa jadi “yang paling jujur”.
Ketika kita berhenti memburu pencapaian besar, kita bisa menikmati setiap langkah kecil.
Ketika kita mengakui bahwa kita tidak bisa sukses dalam satu bidang, kita jadi punya energi untuk mencoba hal lain.
Saya pernah lihat teman yang gagal berkali-kali jadi musisi profesional. Satu hari dia menyerah—dengan wajah letih tapi legowo. Lalu tanpa sengaja dia bantu temannya bikin konten audio branding kecil-kecilan. Dari situ dia malah nemu karier baru yang tidak pernah ia pikirkan.
Itu bukan kisah “kalau satu pintu tertutup pintu lain terbuka” yang terlalu manis. Ini lebih seperti: dia berhenti maksa masuk pintu yang sama, lalu sadar ada jendela kecil di samping yang sebenarnya sudah terbuka sejak lama.
Kenapa Kita Sulit Menerima Diri Sebagai “Biasa Saja”?
Ini bagian yang agak lucu… dan pedih sedikit.
Secara sosial, kita dibesarkan dengan narasi bahwa menjadi biasa saja itu memalukan. Padahal mayoritas manusia di dunia ini memang biasa saja. Tidak viral. Tidak kaya raya. Tidak jadi panutan nasional.
Dan itu bukan masalah.
Saya sampai bertanya pada diri sendiri: kenapa status “biasa saja” terasa seperti kegagalan? Apakah karena kita terlalu sering melihat highlight hidup orang lain? Atau karena kita mematok standar berdasarkan pencapaian orang yang bahkan tidak kita kenal?
Kadang saya merasa dunia modern mendorong kita untuk selalu merasa kurang. Bahkan ketika hidup kita baik-baik saja, selalu ada bisikan halus, “Harusnya kamu bisa lebih.”
Padahal, anehnya, kalau kita benar-benar jujur… “lebih” itu tidak pernah selesai. Mau sampai kapanpun selalu ada orang yang lebih sukses lagi. Jadi pertandingan siapa yang menang itu sebenarnya pertandingan tanpa garis finish.
Dan pertandingan tanpa garis finish… ya capek.
Kalau Ternyata Kita Memang Tidak Bisa Sukses, Lalu Apa?
Saya jadi kepikiran pertanyaan ini waktu mandi—tempat di mana ide paling jujur biasanya muncul. Kalau hidup saya ternyata tidak spektakuler, apa artinya?
Saya sampai tertawa sendiri karena jawabannya ternyata sederhana: artinya hidup tetap berjalan.
Kita tetap bangun pagi.
Tetap makan roti atau nasi.
Tetap ngobrol dengan orang-orang yang sayang sama kita.
Tetap mencoba hal baru meski kecil.
Tetap mencipta sesuatu meski tidak viral.
Dan entah kenapa itu cukup.
Kadang kita lupa bahwa keberhasilan bukan satu-satunya hal yang memberi hidup nilai. Ada banyak hal yang diam-diam menjaga kita tetap utuh: koneksi, pengalaman kecil, momen hangat, rasa ingin tahu, pertemuan acak, dan perubahan kecil yang tidak terlihat orang lain.
Mungkin kita tidak bisa sukses. Tapi kita bisa berkembang sedikit demi sedikit. Kita bisa menjadi versi yang lebih jujur. Kita bisa hidup tanpa tekanan untuk jadi legenda.
Dan jujur aja… itu melegakan sekali.
Pada Akhirnya, Menerima Bukan Berarti Menyerah
Yang menarik dari pesan Soleh itu adalah nuansa “santai tapi nancep”-nya. Kalimat itu tidak bilang kita harus berhenti berusaha. Bukan juga menyuruh kita pasrah.
Justru menurut saya, menerima fakta bahwa kita bisa jadi tidak sukses membuka ruang untuk usaha yang lebih sehat. Kita berusaha bukan karena takut tertinggal, tapi karena ingin tumbuh. Kita mencoba lagi bukan untuk membuktikan sesuatu, tapi untuk menikmati proses.
Karena, iya juga ya, siapa bilang hidup harus luar biasa agar berharga?
Penutup yang Biar Ketika “Biasa Saja” Justru Jadi Titik Awal Baru
Kalau suatu hari kamu sadar bahwa jalur hidupmu mungkin tidak menuju “sukses besar”, tenang aja. Kamu tidak sendirian. Dan itu bukan tragedi. Itu cuma fakta kecil yang bisa kamu ajak berdamai.
Kadang menerima diri apa adanya justru membuat kita menemukan hal-hal yang selama ini terlewat. Dan anehnya… dari situ sering muncul bentuk sukses yang lebih personal, lebih hangat, dan lebih jujur.
Mungkin bukan sukses yang dunia sorot. Tapi sukses yang membuatmu pulang dengan hati ringan.
Dan akhirnya, saya cuma ingin tanya satu hal:
Kalau kamu benar-benar membiarkan diri tidak harus sukses… hidupmu akan terasa seperti apa?
