Hidup yang Nggak Perlu Dijadikan Pelarian

Banyak orang capek karena terus lari dari hidupnya sendiri. Gimana kalau kita mulai bangun hidup yang damai, bukan tempat pelarian
Goldenadi

 Kadang muncul pertanyaan sederhana tapi nusuk: "Kenapa ya, liburan cuma beberapa hari, tapi rasanya seperti kabur dari penjara?"

Hmm. Mungkin karena memang kita sedang lari.

Banyak orang nggak sadar, mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menunggu... pelarian.

Nunggu akhir pekan. Nunggu gajian. Nunggu cuti. Nunggu waktu yang “tepat”. Padahal diam-diam mereka sedang capek hidup dalam rutinitas yang nggak mereka sukai—dan lebih sering lagi, nggak mereka pilih.

Hidup bukan untuk dijadikan pelarian


Kenapa sih kita selalu pengen kabur?

Salah satu alasannya sederhana: hidup yang kita jalani sekarang, sering kali terasa penuh tekanan, tapi minim makna.

Kita sibuk, tapi hampa. Kita produktif, tapi nggak merasa puas. Kita capek, tapi nggak tahu capek karena apa.

Anehnya, banyak orang lebih rela habis-habisan kerja buat bisa healing sebentar... daripada membenahi hidup yang bikin mereka butuh healing itu.

Kenapa?

Karena perbaikan butuh keberanian. Sementara pelarian cuma butuh jadwal cuti.

Damai itu bukan tujuan. Tapi cara jalan.

Banyak yang salah paham soal kedamaian. Dikira itu sesuatu yang harus dicapai—seperti destinasi. Padahal damai itu bukan tempat liburan, tapi cara kita memperlakukan hidup sehari-hari.

Damai itu bukan rumah di Ubud atau pantai di Sumba. Damai itu bisa hadir di kamar kontrakan sempit, di jalanan macet, atau bahkan di kantor yang riuh... asal kita cukup jujur untuk nggak terus menyangkal isi hati sendiri.

Kalau terus nunggu damai datang dari luar, kita akan terus bergantung. Tapi kalau belajar menciptakan damai dari dalam, kita bisa tinggal di mana aja—dan tetap utuh.

Ngebangun hidup yang bikin betah

Yah, nggak bisa instan. Tapi bukan mustahil juga.

Kuncinya bukan soal punya semua yang diinginkan. Tapi justru tentang mulai menyukai hal-hal yang selama ini diabaikan.

Mulai dari hal-hal kecil:

Menata ruang biar lebih nyaman, bukan mewah.

Mengatur jadwal tidur yang nggak bikin badan ngamuk.

Memilih kerjaan yang sejalan dengan nilai hidup, meski gajinya nggak wow dulu.

Mengurangi basa-basi sosial yang bikin lelah, dan memperbanyak waktu dengan orang-orang yang bikin plong.

Menyisihkan waktu buat hal-hal yang nggak menghasilkan uang, tapi memberi rasa—kayak melukis, nulis, atau sekadar jalan sore sambil denger lagu.

Karena hidup yang kita cintai bukan hasil dari sekali gebrakan besar. Tapi akumulasi dari keputusan kecil yang terus-menerus mendekatkan kita ke rasa damai.

Nggak harus selalu senang, tapi tetap bermakna

Jangan salah paham juga, ya. Hidup yang kita cintai bukan berarti hidup yang selalu bahagia. Kadang tetap ada sedih, tetap ada gagal, tetap ada malas.

Tapi bedanya... kita tahu kita nggak lagi lari. Kita hadir di situ. Kita sadar ini bagian dari perjalanan. Kita tetap memilih tinggal, bukan karena nggak punya pilihan—tapi karena ini adalah pilihan.

Dan itu rasanya beda banget, lho.

Hidup yang baik bukan yang mulus. Tapi yang bikin kita pulang.

Ibaratnya begini: rumah yang nyaman bukan yang bebas dari hujan atau panas. Tapi rumah yang meskipun atapnya kadang bocor, tetap bikin kita pengen pulang.

Hidup yang kita cintai pun begitu. Bukan yang steril dari masalah, tapi yang tetap memberi ruang buat kita tumbuh, salah, belajar, dan tetap merasa utuh.

Bukan hidup yang kita “hindari”, tapi yang kita “isi”.

---


Akhirnya, semua balik ke satu hal:

Kalau kita capek terus lari... mungkin saatnya mulai membangun tempat untuk tinggal. Bukan tempat fisik, tapi ruang batin yang tenang, rutinitas yang selaras, relasi yang tulus.


Karena ternyata, hidup yang damai itu bukan hadiah—tapi h

asil.

Dan kita bisa mulai bangun itu, pelan-pelan... hari ini juga.