Postingan

Bali Ramai Tapi Tidak Menguntungkan: Ada yang Salah dengan Wisatawan yang Kita Undang

Bali tidak sepi. Tapi kenapa makin sesak dan tak menguntungkan? Artikel ini membedah jenis tamu dan sistem pariwisata yang kita ciptakan sendiri
Goldenadi
Bali ramai

Saya mau mulai dari pengakuan yang jujur.

Bali memang tidak sepi.
Setidaknya, tidak sepi secara visual.

Jalanan macet.
Kafe penuh.
Pantai ramai.
Story media sosial terus jalan.

Tapi di balik semua itu, ada keluhan yang terdengar makin sering—dan makin seragam.
Pelaku lokal mengeluh omzet.
Pekerja pariwisata merasa kerja lebih capek, tapi hasil tak sebanding.
Warga lokal merasa ruang hidupnya makin sempit.

Kalau tamunya banyak, kenapa hidup lokal justru makin sesak?

Di situ rasa ganjilnya muncul. Dan rasanya, ini bukan soal perasaan. Ini soal desain.


Bali Tidak Benar-Benar Sepi, Tapi Terasa “Kosong”

Mari kita lepaskan dulu kata “sepi”.
Karena faktanya, Bali tidak sepi.

Yang sepi justru maknanya.

Keramaian sekarang terasa seperti lalu-lalang.
Orang datang, tinggal, lewat, lalu pindah.
Uang masuk, tapi cepat hilang.
Energi diambil, tapi sedikit yang kembali.

Dulu, ramai identik dengan hidup.
Sekarang, ramai justru sering terasa melelahkan.

Dan di titik ini, pertanyaannya bukan lagi soal jumlah wisatawan.
Tapi soal siapa yang datang, bagaimana mereka datang, dan sistem apa yang menyambut mereka.


Jenis Wisatawan Tidak Pernah Datang Sendiri, Mereka Diciptakan

Di sini saya ingin berhenti sejenak.
Karena refleks pertama kita biasanya langsung menunjuk:
“Wisatawannya yang salah.”

Padahal, kalau mau jujur, itu terlalu mudah.

Coba kita balik sudut pandangnya.

Pasar tidak pernah muncul tanpa sinyal.
Wisatawan tidak muncul begitu saja.
Mereka datang karena merasa diundang.

Dan sinyal yang Bali pancarkan selama bertahun-tahun cukup jelas:

  • “Hidup murah di Bali”
  • “Surga biaya rendah”
  • “Bisa tinggal lama tanpa ribet”
  • “Villa murah, bebas, privat”

Konten-konten seperti ini tidak netral.
Ia membentuk ekspektasi.
Dan ekspektasi itulah yang akhirnya datang sebagai tamu.

Jadi mungkin masalahnya bukan pada wisatawan berbudget rendah.
Masalahnya adalah: kita membangun Bali agar paling nyaman untuk pola konsumsi rendah.

Market selalu datang sesuai sinyal yang kita pancarkan. Tidak lebih, tidak kurang.


Fasilitas Murah Mengundang Konsumsi Murah

Di titik ini, pembicaraan mulai tidak enak—tapi perlu.

Akomodasi ilegal tumbuh diam-diam.
Villa privat disewakan langsung.
Tanpa izin jelas.
Tanpa pajak.
Tanpa tenaga lokal.

Uangnya tidak mengalir ke desa.
Tidak masuk ke UMKM sekitar.
Tidak memperkuat ekonomi lokal.

Uang hanya berputar di lingkaran tertutup:
tamu → pemilik → platform → keluar.

Dan pelaku lokal?
Hanya kebagian macet, sampah, dan harga tanah yang naik.

Bali tidak kekurangan tamu. Bali kekurangan tamu yang meninggalkan jejak ekonomi.


Ramai Itu Bukan Masalah, Tapi Ramai Tanpa Nilai

Keramaian selalu punya biaya.
Dan biaya itu tidak gratis.

Macet berarti beban infrastruktur.
Sampah berarti tekanan lingkungan.
Harga tanah naik berarti warga lokal terdesak.
UMKM stagnan berarti mimpi naik kelas tertunda.

Kalau keramaian tidak membawa nilai tambah,
yang terjadi bukan pertumbuhan—tapi kelelahan kolektif.

Sebuah tempat bisa rusak bukan karena ditinggalkan,
tapi karena digunakan tanpa keseimbangan.

Keramaian tanpa kualitas hanya mempercepat kelelahan sebuah tempat.


Bali Sedang Tidak Sepi, Bali Sedang Disalahgunakan

Penting untuk hati-hati di bagian ini.
Ini bukan soal kebencian pada orang luar.
Bukan soal siapa dari mana.

Ini soal fungsi.

Bali bukan kota transit.
Bali bukan hostel dunia.
Bali bukan tempat “hidup murah tanpa tanggung jawab”.

Bali adalah ruang hidup.
Ada warga.
Ada budaya.
Ada batas.

Ketika sistem membiarkan siapa pun tinggal lama tanpa kontribusi yang sepadan,
yang rusak bukan hanya ekonomi—tapi martabat sebuah tempat.

Masalahnya bukan orang asing.
Masalahnya aturan yang terlalu longgar untuk disalahgunakan.


Kalau Bali Ingin Sehat, Ia Harus Berani Memilih Tamu

Ini bukan solusi teknis.
Ini soal posisi.

Pariwisata sehat tidak diukur dari jumlah kedatangan.
Tapi dari dampak yang tertinggal.

Seleksi bukan berarti menutup diri.
Regulasi bukan berarti anti-tamu.
Penertiban bukan berarti memusuhi.

Justru sebaliknya.
Itu tanda sebuah tempat menghargai dirinya sendiri.

Promosi perlu diarahkan ulang.
Akomodasi ilegal perlu dibereskan.
Nilai perlu didahulukan, bukan volume.

Karena pada akhirnya, pariwisata bukan soal siapa yang datang.
Tapi apa yang mereka tinggalkan.

Dan mungkin, yang perlu kita tanyakan bukan lagi
“kenapa Bali terasa sepi”,
melainkan:

“Siapa yang selama ini kita undang—dan dengan cara apa?”