Di dunia yang memuja produktivitas, membuang waktu sering kali dianggap dosa.
Duduk tanpa melakukan apa-apa? Main game berjam-jam? Menonton langit sore tanpa alasan jelas? Itu semua—katanya—tidak produktif. Tapi… benarkah demikian?
Ketika waktu dianggap sia-sia
Stephan Joppich, dalam esainya The Importance of Wasting Time, mengakui bahwa ia menghabiskan ribuan jam masa mudanya bermain video game. Waktu itu terasa menyenangkan, tapi saat beranjak dewasa, ia mulai mempertanyakan: apakah itu pemborosan waktu?
Ini adalah dilema yang sering muncul. Kita hidup di bawah tekanan konstan untuk “menghasilkan” sesuatu. Seakan-akan nilai diri hanya bisa diukur lewat to-do list yang centang semua. Tapi jika ditelusuri lebih dalam, apakah semua yang “terlihat sibuk” benar-benar membuat hidup lebih berarti?
Mengapa membuang waktu itu penting?
Beristirahat, melamun, melakukan hal sepele—semua itu memberi ruang bagi otak dan jiwa untuk bernapas. Dalam kondisi rileks, pikiran sering kali menemukan solusi, ide, bahkan kedamaian yang tidak muncul saat sedang sibuk mengejar target.
Studi menunjukkan bahwa waktu jeda (yang tampak seperti “tidak melakukan apa-apa”) sangat penting bagi pemrosesan emosi, kreativitas, dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan filosofi Stoik yang diyakini Stephan: kesibukan bukanlah ukuran kebijaksanaan.
Stoikisme dan seni memperlambat
Seneca, salah satu filsuf Stoik terkemuka, pernah berkata: “It is not that we have a short time to live, but that we waste a lot of it.” Ia tidak bicara soal scrolling media sosial atau binge-watching serial. Yang ia maksud adalah kesibukan yang tidak sadar, rutinitas tanpa makna, dan pelarian dari diri sendiri.
Membuang waktu, dalam konteks ini, justru bisa menjadi cara untuk kembali sadar. Duduk diam, merasakan napas, menikmati ketenangan, bahkan bermain hanya untuk bersenang-senang—semua itu bisa menjadi bentuk perawatan diri yang otentik.
Membuang waktu dengan bijak
Tentu bukan berarti semua bentuk kemalasan itu sehat. Tapi ada perbedaan besar antara kabur dari hidup dan menarik napas sejenak dari hiruk-pikuknya.
Yang pertama membuat kita mati rasa. Yang kedua justru membantu kita hidup lebih utuh.
Cobalah beberapa hal ini:
- Menjadwalkan waktu "tanpa rencana"
- Menikmati hobi tanpa harus monetisasi
- Melamun tanpa merasa bersalah
- Melepaskan FOMO (Fear of Missing Out)
Makna bukan hanya tentang hasil
Kadang, hidup paling bermakna justru terasa di saat-saat sederhana: saat memandangi langit sore, tertawa tanpa alasan, atau menikmati keheningan pagi tanpa gangguan.
Membuang waktu bukan berarti menyerah. Bisa jadi, itu adalah cara paling jujur untuk kembali pada diri sendiri.



